Cerita Perjalanan: Dari Napu, Kami Menyeberang Ke Danau Lindu [Chapter 5]

“The river is everywhere.” - Hermann Hesse, Siddhartha

[28.05.2013]

Luar biasa. "Ini baru neraka...", ujar wane, menutup giliran kami berempat dalam mengeluh. Sedari pagi, kami memang sudah mengeluh secara bergiliran-bersautan. Tanpa disadari kami seperti bekisar yang dilombakan dalam kejuaraan. Berebut susah. Penunjuk jalan telah terlebih dahulu laju. Jauh didepan sana. Mungkin disuatu tempat di bawah awan yang ada di ujung horizon, - jika kelihatan. Sayangnya yang bisa kami lihat saat ini hanyalah air, batu, dan lekukan sembilan kesekian. Aku berkali-kali melihat kebawah, melihat sepatuku, - ah tidak - lebih tepatnya kakiku didalamnya. Apabila bisa kulihat, jari-jariku sudah berteriak pasrah, berperang dengan kutu air yang entah bagaimana bentuknya. Sejak kemarin malam, 10 bersaudara ini telah berenang dalam jacuzzi berbahan kulit tahan air. 

Kami menaiki tangga batuan dengan air terjun mini yang cantik. Paling tidak, kecantikannya bisa sedikit mengalihkan perhatian dari perihnya kaki. Sesekali perahu kuning dedaunan yang gugur menaiki arusnya, terjun bebas dan turun melalui kami. Turun ke hilir sebelum mereka tersangkut diantara batang dan bongkahan kayu lapuk yang jadi ornamen sungai. Sedangkan kami terus naik, terus, terus, mencari lingkaran kontur terkecil dalam GPS. 



Siang ini mendung. Bercengkrama dengan Om porter di depan perapian yang kami buat di bawah tenda terpal. Berusaha memahami bahasa Napu dan candaan lokal masyarakat Behoa, sambil melihat kebelakang. Tidak terasa sudah hampir seminggu kami berada di perut hutan. Dalam enam hari ini juga kami belajar menghargai ilmu, dan bagaimanapun, kami tidak akan lagi mempertanyakan kenapa orang tua kami begitu memaksa kami untuk belajar, belajar, dan belajar. "Orang berilmu akan hidup enak, Orang berilmu akan dihormati,,," nasihat Om kumis lele. Mereka bercerita bagaimana mereka harus keluar masuk hutan memanggul biji cocoa dan terkadang barang bawaan turis atau peneliti seperti saat ini, tentunya untuk mencari nafkah. Tenaga adalah modal mereka, kesehatan adalah yang terpenting bagi mereka. Dalam hati, mereka berdoa kepada Tuhan, agar anak-anak mereka tidak melakoni hal yang sama.

Minggu pagi mereka melingkar. Berkumpul berpegangan tangan. Meraka memuja Tuhan, dan menyanyikan doa mereka. Bagaimana mungkin kami yang masih muda bisa selalu mengeluh atas duri-duri rotan kecil yang menggelitik?

Comments