Cerita Perjalanan: Dari Napu, Kami Menyeberang Ke Danau Lindu [Chapter 2]



“The sun did not shine. It was too wet to play. So we sat in the house. All that cold, cold, wet day.” 


[25.05.2013]

Selamat pagi Wuasa. Kami bersiap menuju Watu Maeta dengan mobil 4WD. Dari sana kami akan memulai perjalanan melintasi dataran tinggi Napu, menuju Lindu. Target hari ini adalah bisa sampai camp I sebelum matahari terlahap.

Hari ini kami mendapat kenalan baru. Namanya Jelatang. Keahliannya adalah memberikan rasa gatal yang luar biasa. Dia sangat ramah, dan lincah. Suka sekali bermain-main di kaki kami. Sesekali ia juga memberikan sensasi terbakar pada bekas luka yang diberikan. Ia sangat setia. Tidak seperti cinta yang superfisial. Kehadirannya bisa bertahan sampai berhari-hari. Menyiksa.


Menjadi Srikandi diantara 26 orang lelaki, aku dan Nuri mau tidak mau harus menahan beban yang sangat luar biasa. Bukan beban bawaan, karena porter kami setia membawa. Tapi beban mental agar tidak menyusahkan. Memang sudah terbiasa, tapi mereka terkesima melihat kami meminum air sungai, makan rumput liar,berburu Katak dan sogili, serta menyelesaikan "bisnis" kami di balik semak belukar. "Jangan memaksakan diri," iba mereka. Tapi kami sungguh. Terbiasa.



Terguling, jatuh, dan terperosok, menjadi kesialan yang kami tertawakan. Asal kami masih punya tangan yang membantu kami berdiri lagi. Dan punya rekan perjalanan yang akan menertawakan tiap kejatuhan kami. Kami akan selalu bisa berdiri lagi.

Ketika Matahari jauh tertelan barat, berarti saat itulah waktunya kami beristirahat. Butuh waktu 6 jam bagi kami untuk punya hak meluruskan kaki, diantara hijau dedaunan dan nyanyian Cicadoidea. Teduh.

Hari ini indah. Kami bisa bersyukur karena setelah hari yang panjang, kami masih bisa minum kopi dan memasak beberapa helai  daun Pakis.


Comments